Translate

Powered By Blogger

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, February 11, 2018

Kemerdekaan itu ...

Hari ini aku menyadari dan memahami bahwa kebebasan dan kemerdekaan memang harus diperjuangkan. Benar kata Eluard, dia harus dituliskan dimana-mana, di tempat-tempat yang begitu tampak ataupun yang tak tampak, materi atupun imateriil, dalam relung hati kita. Kemerdekaan harus digoreskan berulang-ulang di kepala kita di hati kita, agar kita berani melangkah.

Puisi "Liberté" karya Paul Eluard dinyanyikan Lles Enfoirés Liberté - Clip officiel des Enfoirés, 2016

Kebebasan itu adalah semangat untuk melakukan perubahan-perubahan, sekecil apapun dan memberikan inspirasi bagi orang lain. Kebebasan itu berani melakukan kesalahan karena dengan itu perbaikan bisa dilakukan. Kebebasan adalah berani mengatakan silahkan kritik hasil karyaku, karena itu akan membuatku dan karyaku lebih baik. Kebebasan itu berani menerima ketika orang lain tidak sependapat dengan kita, dan kita berani terus melangkah!

Kebebasan itu adalah kebenaran. Tetapi kita juga harus sadar bahwa kebenaran hakiki hanyalah milikNya. Kalau ada orang yang menganggap pemahamannya saja yang benar, dia telah menyalahi kodratnya sendiri. Kodratnya sebagai manusia yang memang ditakdirkan untuk melakukan kesalahan-kesalanan karena dari sana kita belajar bahwa kesempurnaan hanyalah milikNya semata. Aku berterima kasih untuk hari kemarin, hari ini dan hari esok. Semoga yang Maha Mengawali dan yang Maha Mengakhiri serta pemilik sekian nama terbaik dan terindah selalu menjadi penuntunku. Amin. 

Pendidikan Calon Guru Berwawasan Multikultural di Perguruan Tinggi Indonesia : Sebuah Gagasan

Secara etimologis, Douglas Harper (2001) menjelaskan  kata ‘guru’ berasal dari bahasa  Sansekerta gooroo,  pada tahun 1800 berarti "teacher, priest," dan kemudian digeneralisir maknanya menjadi  "mentor" sejak tahun 1940. Sedangkan kamus bahasa Inggris (Canada-Inggris) mencatat kata ‘guru’ pada tahun 1966 yang bermakna  "ahli dalam sesuatu’(www.etymonline.com/index.php). Jadi, seseorang dianggap sebagai seorang guru karena dia memiliki suatu pengetahuan  yang dapat membuatnya memiliki kearifan sehingga dapat  mengarahkan (menjadi mentor) dan memimpin bagi dirinya sendiri dan orang lain  tentunya menuju pada kebaikan.
Perkembangan teknologi dan informasi yang demikian pesat di era globalisasi seperti saat ini diperlukan suatu gerakan yang massif untuk memunculkan semangat kepemimpinan (leadership) bagi semua orang, termasuk guru, jika bangsa Indonesia ingin bertahan dan menjadi bangsa yang besar. Semua orang, termasuk guru harus dibuat berdaya (empowered) dengan segala perbedaan atau persamaan yang dimilikinya. Menjadikan guru yang berdaya agar mampu menjadi motor untuk keberdayaan orang lain (murid/peserta didik) bukanlah pekerjaan yang mudah. Sama sulitnya untuk mendorong dan menyadarkan orang agar mengambil peran kepemimpinan bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.  Ini merupakan tantangan bangsa Indonesia dan perguruan tinggi pendidik calon tenaga guru.
Tugas guru memang berat, tetapi bukan berarti tidak dapat dilaksanakan. Memilih menjadi guru berarti seseorang harus selalu mau untuk memperbaiki diri dan meng-updatepengetahuannya tanpa syarat. Jika demikian, kesadaran akanpentingnya pendidikan sepanjang hayat bagi guru dan calon guru menjadi kebutuhan yang amat mendesak dan sangat penting bagi bangsa dimanapun, termasuk Indonesia. Spring (2008: 339) menyebutkan bahwa salah satu diskursus  yang berperan penting dalam era globalisasi adalah pendidikan sepanjang hayat/lifelong learning (LLL), yang menurut Borg&Mayo, menjadi topik diskusi yang mendunia sejak UNESCO mempublikasikan laporannya, yaitu tahun 1970an. Laporan tersebut menyebutkan bahwa pendidikan sepanjang hayat merupakan bagian pertumbuhan budaya secara individu (Faure et al., via Joel, 2008: 339). Komisi Masyarakat Eropa, mendefinisikan pendidikan sepanjang hayat sebagai “semua kegiatan pembelajaran, yang dilakukan berdasarkan tujuan untuk meningkatan pengetahuan, kemamuan dan kompetensi.” (Commision of the European Communities melalui Joel, 2008: 339). Sayangnya, program pendidikan sepanjang hayat ini gemanya tidak terlalu terdengar di Indonesia. Kebijakan tentang pendidikan sepanjang hayat atau Lifelong Learning (LLL) tidak terlalu jelas di Indonesia. Padahal pendidikan sepanjang hayat dapat dijadikan ‘semangat’ untuk memberdayakan semua orang, termasuk guru dan calon guru di Indonesia.
Sebagai salah satu negara yang multikultural, Indonesia mempunyai potensi untuk maju, berkembang dan mencapai cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, jika kita tetap setia, terus mencoba menggali, memahami dan kemudian bertindak sesuai dengan nilai-nilai  yang terkandung dalam falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang dicengkeram oleh burung Garuda tidak hanya menjadi hiasan dinding belaka, tetapi semangat itu harus dapat dijiwai masyarakat Indonesia secara mendalam hingga mendarah daging, menjadi arahan setiap individu dan bangsa Indonesia dalam bertindak. Prinsipnya adalah meskipun bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang multikultural namun karena komitmen bersama maka akan tetap terintegrasi dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
Internalisasi nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dalam Pancasila dan semboyan bangsa ini, tidak dapat dilakukan dengan menghapalkanmaupun taken-for-granted (pokoknya begitu yang diajarkan dari nenek moyang dan harus diterima titik).  Hal itu mengingat sejarah gelap dan panjang pemberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal demi melanggengkan status quo pada masa pemerintahan Orde Baru, sehingga menyebabkan citra Pancasila tercoreng di mata masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemimpin-pemimpin  yang berjiwa kepemimpinan untukmemulai dan mendorong gerakan massa yang kritis (critical mass)untuk mengambil peran kepemimpinan melalui  diskusi-diskusi kritis, kajian-kajian, untuk meredefinisi nilai-nilai Pancasila demi perubahan ke arah perbaikan. Jika masing-masing individu sebagai warga negara dapat terlibat dalam massa kritis sehinggajumlahnya mencapai 2/3 dari keseluruhan warga negara di Indonesia, maka perubahan-perubahan, perbaikan-perbaikan dapat kita lakukan agar identitas dan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia tidak lagi melenceng dari nilai-nilai Pancasila.  Diibaratkan sebagai pohon yang akar-akarnya telah mencengkeram dalam dan kuat ke dalam bumi maka kita sebagai negara bangsa akandapat bertahan kokoh di tengah derasnya gelombang globalisasi.
Pendidik (guru-dosen) merupakan salah satu aset nasional bangsa Indonesia yang posisinya sangat strategis untuk menjawab tantangan perubahan jaman. Pendidikan multikultural merupakan kebutuhan bangsa Indonesia sebagai salah satu negara yang plural di dunia. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.Jelas disini bahwa peran guru-dosen dalam pendidikan multikultur di Indonesia menjadi sangat krusial dan penting. Paparan berikut mencoba merefleksi langkah-langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki praktek-praktek pembelajaran di perguruan tinggi untuk mempersiapkan calon guru atau guru yang berwawasan multikultural. 
Pendidikan multikultural di Indonesia tentu saja berbeda dengan pendidikan multikultural di Amerika atau Kanada, pendidikan multikultural di Indonesia merupakan suatu refleksi atas kesadaran diri atas realitas masyarakat yang majemuk dan pendidikan multikultural semacam ini lebih mengarahkan pada pengembangan kesadaran, kebersamaan dalam konteks perbedaan budaya di masyarakat (Zamroni, 2007:269-70). Untuk itu, perlu kiranya gagasan-gagasan tentang pendidikan multikultural yang cocok dengan bangsa Indonesia. Tulisan ini tentu saja merupakan salah satu upaya penulis untuk turut memberikan kontribusi berkembangnya pendidikan multikultural di Indonesia, khususnya untuk pendidikan guru atau calon guru di perguruan tinggi. 

Rancangan Pendidikan Guru Berwawasan Multikultural

       Sekolah (termasuk juga perguruan tinggi) merupakan institusi sosial yang strategis sebagai pemersatu negara berbangsa yang pluralistik seperti Indonesia. Seperti telah disebut di atas, bahwa diperlukan komitmen tinggi dan kepemimpinan dari pemerintahdan juga penentu kebijakan di tingkat sekolah / perguruan tinggi untuk mengambil kebijakan-kebijakan dan bila perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan sehingga kebijakan tersebut bertumpu pada konsep multikultural. Kebijakan pendidikan multikultural harus ‘disuarakan’ dan ‘dipopulerkan’ melalui berbagai macam kanal (media massa, berbagai macam kajian, penelitian, diskusi, sarasehan, rembuk secara nasional) agar masyarakat mengerti, peduli dan sadar pentingnya pendidikan multikultural. Tentu saja penelitian-penelitian, kajian-kajian kritis itu dapat ‘dibumikan’ dan disampaikan dengan bahasa rakyat agar mudah dimengerti dan dipahami. 
Banyaknya perkelahian antar kelompok dan begitu mudahnya mahasiswa terseret pada perkelahian dan tawuran (seperti sering kita saksikan di Makasar) merupakan bukti bahwa pendidikan multikultural perlu dijadikan ‘santapan’ bagi masyarakat pada umumnya menggantikan sajian ‘isu-isu’ selebritis, sinetron-sinetronyang penuh dengan kekerasan di ruang publik masyarakat (televisi) Indonesia. Henry A. Giroux dalam Doing Cultural Studies: Youth and the Challenge of Pedagogy mengingatkan kita bahwa budaya popular di era keterbukaan informasi dan teknologi, secara politis dan pedagogis, merupakan wilayah kajian yang penting dalam pendidikan (Giroux, 1994 : 281).
Asumsi-asumsi yang mendasari tulisan ini didasarkan pada teori kritis tentang pendidikanyang muaranya pada pemberdayaan (empowerment) sebagai jalan menuju tujuan pendidikan (secara umum maupun pendidikan multikultural pada khususnya), yang berdasarkan nilai-nilai dalam Pancasila. Sastrapratedja (2001: 13-14) menyebutkan bahwa Pancasila merupakan suatu rumusan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Oleh karena itu seringkali dikatakan bahwa Pancasila bersifat humanistik dan universalistik. Humanistik, karena memuat nilai-nilai kemanusiaan yang bertumpu pada nilai hormat terhadap martabat manusia; universalistik, karena nilai-nilai itu bersifat mendasar sehingga dapat berlaku bagi setiap orang. Nilai-nilai tersebut adalah (1) hormat terhadap keyakinan religius setiap orang; (2) hormat terhadap martabat manusia sebagai pribadi/persona, yaitu sebagai subjek yang tak pernah boleh direduksi menjadi objek; (3) kesatuan sebagai bangsa yang mengatasi segmentasi-segmentasi sempit; (4) demokrasi atas dasar kedaulatan di tangan rakyat; (5) keadilan sosial yang mencakup kesamaan derajat setiap orang (equality) dan pemerataan (equity).Notonagoro melihat Pancasila sebagai kesatuan organis (majemuk tunggal) nilai, yang terdiri atas nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, bahkan saling mengkualifikasi satu nilai dengan yang lain. Artinya, manakala berbicara tentang persatuan Indonesia, misalnya, maka konsep ini tidak dapat dilepaskan dari konsep ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan. Setiap berbicara tentang satu sila, maka akan selalu terkait dengan keempat sila lainnya (Kuswanjono, 2006: 86). Jadi, dalam pembahasan tulisan ini tidak akan dipisah-pisahkan antara sila yang satu dengan sila yang lain tetapi kesemuanya itu menjadi landasan berpikir dan pijakan dalam mengungkapkan argumentasi.
Selain itu, Sastrapratedja (2001: 11-12)  juga mengungkapkan bahwa arah pendidikan yang memberdayakan diartikan sebagai: (1) daya untuk berbuat (power-to); (2) kekuatan bersama (power-with); dan (3) kekuatan dari dalam (power-within). Pendidikan yang memberdayakan adalah pendidikan yang dapat memberikan kekuatan pada peserta didik untuk kreatif sehingga mampu membuat seseorang berbuat sesuatu, memutuskan sesuau dan memecahkan masalah. Pendidikan juga merupakan usaha untuk membantu membangun kekuatan bersama, yaitu agar peserta didik membangun solidaritas atas dasar komitmen  pada tujuan dan pengertian yang sama untuk memecahkan permaslahan yang dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Pendidikan bertujuan untuk membangun kekuatan spiritual yang ada dalam diri peserta didik sehingga dapat membuat manusia lebih manusiawi karena di situ dibangun harga diri manusia dan penghargaan terhadap martabat manusia dan nilai-nilai yang mengalir dari martabat itu. Pemberdayaan ini memungkinkan (1) kemampuan untuk menghadapi perubahan nilai dan pluralism, (2) kemampuan untuk memilih berbagai macam alternatif, (3) kemampuan peserta didik untuk beradaptasi dengan perubahan yang demikian cepat.
Perguruan tinggi pendidik calon guru dan guru merupakan lembaga yang diharapkan dapat menjadikan semua civitas akademika untuk selalu dapat berpikir kritis, menjadi mediator budaya, mampu memberikan bantuan atau advokasi terhadap siswa, serta menjadi agen perubahan yang mempunyai komitmen untuk mencapai pendidikan multikultur yang merata, adil, berkualitas. 
Karena kontribusinya terhadap institusi sosial, maka pendidik  beserta institusinya/sekolah atau perguruan tinggi perlu memperjelas nilai-nilai, asumsi-asumsi serta landasan pedagogi yang diberikan kepada muridnya atau mahasiswa yang dituangkan melalui visi dan misi perguruan tinggi dan disosialisasikan secara intensif kepada seluruh civitas akademika. Visi dan misi suatu lembaga perlu dikomunikasikan untuk dijadikan pijakan setiap kebijakan dan individu yang berada di lembaga tersebut. Untuk itu, visi dan misi harus dapat dioperasionalkan  secara jelas dan dijadikan ‘ruh’ bagi setiap kegiatan pendidikan di dalam kelas ataupun di luar kelas dan tidak hanya menjadi pajangan di pintu masuk / gerbang perguruan tinggi.
Ada beberapa langkah yang dapat digunakan untuk menghasilkan lulusan calon guru yang berwawasan multikultur di Indonesia. Semboyan ‘bhineka’ dan ‘tunggal ika’ perlu secara teoritis dan praktis di bawa ke ruang-ruang kelas. Dosen harus dapat menjadi seorang pemikir kritis sehingga dapat mengembangkan diri (kognifif maupun afeksinya). Dengan selalu berpikir kritis, seorang guru sekaligus akan menjadi seorang yang terus belajar sepanjang hayatnya sehingga dapat menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dan selalu dapat mengevaluasi diri (sikap, tindakan) dan mengevaluasi nilai-nilai atau asumsi-asumsinya yang mungkin saja bias. Guru atau dosen yang demikian juga akan dapat melihat kebutuhan-kebutuhan peserta didiknya sehingga dapat mempersiapkan materi-materi yang menantang dan memungkinkan terjadinya dialog-dialog, diskusi-diskusi di ruang kelas secara terbuka dan tulus sehingga masing-masing individu di dalam kelas tersebut merasa nyaman dengan perbedaan-perbedaan yang dimiliki, tanpa adanya tekanan dan prejudice tertentu.
Pendidikan harus dapat menjadi ruang pembebasan sebagaimana diungkapkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed. Pendidikan didasarkan pada keyakinan bahwa manusia mempunyai kapasitas (secara fitrah) untuk mengubah nasibnya. Untuk itu tugas utama pendidikan adalah untuk mengantarkan peserta didik menjadi subjek dalam mencapai tujuannya masing-masing. Asumsi-asumsi yang mendasari adalah (1) perlunya ditumbuhkan keadaran kritis peserta didik terhadap struktur sosial yang selama ini telah membelenggu dan menindas, (2) kesadaran manusia selalu berproses dipengaruhi oleh lingkungan. Pendidikan yang demikian haruslah dicapai dengan proses pembelajaran yang memposisikan guru dan siswa sama-sama sebagai subjek yang harus terlibat dalam mengkritisi dan juga memproduksi pengetahuan, (3) pendidikan demikian dipahami sebagai pendidikan yang membebaskan dari sistem hegemoni dan dominasi kultural yang mempertahankan dan mereproduksi status quo, (4) pendidikan tidak hanya dibatasi pada ruang kelas, tetapi harus kontekstual terkait dengan dunia disekitarnya (Freire, 2008). Dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang seperti itu adalah pendidikan yang dapat memberdayakan semua orang untuk selalu dan terus aktif dalam membangun pengetahuan. Hal itu dimaksudkan agar, setelah menyelesaikan pendidikannya,  masing-masing calon guru akan juga selalu belajar secara kritis dan mampu menciptakan lingkungan pembelajaran yang juga memperdayakan murid-muridnya. Jika lifelong learning telah terinternalisasi dalam masing-masing guru,  maka upaya untuk memobilisasi murid-murid agar berdaya bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan oleh guru.
Selain itu, guru (di dalam kelas maupun di luar kelas) harus dapat bertindak sebagai mediator bagi keberagaman masyarakat. Sebagai mediator, maka guru mempunyai peran yang efektif untuk menjembatani terjadinya dialog-dialog keberagaman budaya dalam masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Keterlibatan guru dalam kegiatan-kegiatan di masyarakatnya akan mampu memberikan pengaruh positif terhadap pendidikan multikultural. Dengan memahami masyarakatnya, seorang guru akan dapat mengintegrasikan berbagai materi yang harus disampaikan kepada muridnya yang disesuaikan dengan konteksnya, dengan berbagai metode dan strategi yang memang cocok dengan kondisi masyarakat. Pemahaman guru terhadap perbedaan yang mungkin saja terjadi antara nilai-nilai sekolah dengan nilai-nilai yang dibawa oleh peserta didik bagaimanapun sangat penting bagi guru. Sehingga guru kemudian dapat menjelaskan perilaku-perilaku atau sikap-sikap yang diharapkan oleh institusi dan guru yang belum dicapai oleh siswanya.
Guru juga harus dapat berperan sebagai advokat bagi siswa-siswanya. Untuk itu, perlu kiranya guru mengenal secara personal para siswanya agar guru dapat memahami latar belakang dan nilai-nilai yang telah dipelajari siswa dalam keluarga dan masyarakatnya dan dapat memberikan bantuan serta saran-saran agar siswa dapat mengoptimalkan kemampuannya dengan modal yang dimilikinya. Guru yang demikian akan lebih demokratis dalam memperlakukan siswanya, memberikan kesempatan kepada siswanya untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya secara jujur. Berbagai permasalahan dapat diselesaikan dalam diskusi secara seimbang.
Sebagai agen perubahan, guru diharapkan selalu bekerja keras untuk memberdayakan dirinya sendiri dan orang lain dalam kondisi yang bagaimanapun. Guru diharapkan dapat terlibat dalam proses-proses perubahan menuju perbaikan yang dicita-citakan bersama. Sebagai agen perubahan, maka seorang guru tidak akan mudah puas dengan apa yang telah dicapainya. Ia akan terus aktif dan kreatif untuk mencari segala kemungkinan  demi kemajuan bersama. Peran guru sebagai agen perubahan ini merupakan peran yang sangat penting karena perubahan cepat di berbagai bidang membutuhkan peran aktif dalam memperkokoh sistem pendidikan kita dan mencari berbagai alernatif yang memungkinkan untuk perbaikan diri, orang lain dan bangsa.
Dalam pembelajaran di dalam kelas, guru bagaimanapun akan selalu menjadi model bagi murid-muridnya.  Untuk itu, kesuksesan implementasi pendidikan multikultural juga sangat tergantung pada bagaimana guru bersikap, bertindak, dan berperilaku di dalam kelas dan di luar kelas. Modeling bagaimanapun merupakan strategi yang baik dalam pendidikan multikultural. Seorang guru yang multikultural akan tercermin dari setiap ucapan, sikap dan perilakunya yang dapat ditangkap dan dijadikan contoh bagi setiap muridnya. Seorang guru yang multikultural akan mengetahui nama murid-muridnya dan memperlakukan siwanya dengan positif. Setiap siswa dianggap mampu untuk tumbuh dan berkembang mencapai fitrahnya masing-masing. Modeling merupakan strategi yang efektif dalam pembelajaran. Bagaimana seorang guru/dosen memahami budaya kelas dan menciptakan suasana yang aman, tenang, kondusif, nyaman, saling menghormati martabat manusia, demokratis, adil merupakan bagian penting dari contoh tersebut.
Menciptakan rasa kebersamaan di dalam kelas juga dapat menumbuhkan rasa saling menghormati di antara siswa. Melalui berbagai kegiatan diskusi dengan duduk melingkar (face-to-face), siswa dapat saling bercerita dan mendengarkan tentang nilai-nilai yang dibawanya dari rumah, harapan-harapannya agar tumbuh rasa saling memahami dan menghargai serta mengurangi rasa saling curiga (prejudice). Melalui diskusi-diskusi seperti ini diharapkan seorang calon guru / guru dapat mengevaluasi asumsi-asumsinya, pandangan-pandangannya yang mungkin saja bias. Menurut Paulo Freire (2008), inti pembelajaran terletak pada ‘problem-posing education,’ karena melalu problem solving (pemecahan masalah) para siswa diajak untuk mengevaluasi dan otomatis juga mengevaluasi nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai budaya yang telah diajarinya untuk kemudian memikirkan suatu tindakan yang dilakukan dengan mereview juga nilai-nilai orang lain untuk mencari suatu pemecahan. Selain itu, dengan diskusi, seorang siswa akan terbiasa mengungkapkan pikirannya, pendapatnya dan membiasakan siswa untuk turut aktif memberikan kontribusi terciptanya suasanya demokratis yang saling menghargai pendapat orang lain, menghargai perbedaan.
Dalam memperoleh pengetahuan,  siswa / mahasiswa harus dibiasakan untuk  memperoleh pengetahuan secara aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan saja layaknya sistem bank.  Materi-materi yang kontekstual dan berdasarkan projek biasanya dapat membantu siswa dalam menggali pengetahuan secara mendalam. Seorang guru yang aktif mencari pengetahuan tidak akan menerima begitu saja status quo yang melenakan, tetapi ia akan mencari alternatif-alternatif lain atau mencoba mencari jalan lain, bereksperimen untuk memecahkan berbagai tantangan yang dihadapinya, seberapa beratpun tantangan itu. 


Penutup

Guru adalah seseorang yang memiliki suatu pengetahuan  yang dapat membuatnya memiliki kearifan sehingga dapat  mengarahkan (menjadi mentor) dan memimpin bagi dirinya sendiri dan juga orang lain  dalam menuju pada kebaikan. Peran guru sangatlah penting di dalam proses pembelajaran (di dalam atau di luar kelas).   Asumsi-asumsi yang mendasari tentang bagaimana pendidikan guru yang berwawasan multikultural di Indonesia  didasarkan pada teori kritis tentang pendidikan yang muaranya pada pemberdayaan (empowerment) sebagai jalan menuju tujuan pendidikan (secara umum maupun pendidikan multikultural pada khususnya), yang berdasarkan nilai-nilai dalam Pancasila.

Pemberdayaan ini memungkinkan guru untuk memiliki (1) kemampuan untuk menghadapi perubahan nilai dan pluralism, (2) kemampuan untuk memilih berbagai macam alternatif, (3) kemampuan peserta didik untuk beradaptasi dengan perubahan yang demikian cepat. Sedangkan pendidikan yang didasarkan atas nilai-nilai Pancasila paling sedikit memiliki lima ciri, yaitu (1) hormat terhadap martabat manusia, (2) manusiawi, (3) demokratis, (4)  adil dan (5) berwawasan kebangsaan. Ciri-ciri ini tentu saja harus dimiliki oleh setiap guru. 

Referensi


Freire, Paulo. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Terjemahan dari Judul Asli: Pedagogy of the Oppressed by Paulo Freire, 1972. Jakarta: LP3ES.

Giroux, Henry A. (1994). Doing Cultural Studies: Youth and the Chalenge of Pedagogy.  Harvard Educational Review, 64, 281

Harper, Douglas. (2001). Online Etimology Dictionaire. http://www.etymonline.com/.

Kuswanjono, Arqom. (2006). Pluralisme Pancasila. Jurnal Filsafat « Wisdom » , 16, 1, 77-93.

Sastrapratedja, M. S.J. (2001). Pendidikan sebagai Humanisasi. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma.

Spring, Joel. (2008). Research on Globalization and Education. Review of Educational Research. 78, 2.

Zamroni. (2007). Pendidikan dan Demokrasi dalam Trasisi: Prakondisi menuju era Globalisasi. Jakarta : PSAP Muhammadiah.