Secara etimologis, Douglas Harper (2001) menjelaskan kata ‘guru’ berasal dari bahasa Sansekerta gooroo, pada tahun 1800 berarti "teacher, priest,"
dan kemudian digeneralisir maknanya menjadi
"mentor" sejak tahun 1940. Sedangkan kamus bahasa Inggris (Canada-Inggris)
mencatat kata ‘guru’ pada tahun 1966 yang bermakna "ahli dalam sesuatu’(www.etymonline.com/index.php). Jadi, seseorang dianggap sebagai seorang guru karena
dia memiliki suatu pengetahuan yang
dapat membuatnya memiliki kearifan sehingga dapat mengarahkan (menjadi mentor) dan memimpin
bagi dirinya sendiri dan orang lain tentunya
menuju pada kebaikan.
Perkembangan teknologi dan informasi yang demikian pesat di era globalisasi
seperti saat ini diperlukan suatu gerakan yang massif untuk memunculkan
semangat kepemimpinan (leadership)
bagi semua orang, termasuk guru, jika bangsa Indonesia ingin bertahan dan
menjadi bangsa yang besar. Semua orang, termasuk
guru harus dibuat berdaya (empowered)
dengan segala perbedaan atau persamaan yang dimilikinya. Menjadikan guru yang
berdaya agar mampu menjadi motor untuk keberdayaan orang lain (murid/peserta
didik) bukanlah pekerjaan yang mudah. Sama sulitnya untuk mendorong dan
menyadarkan orang agar mengambil peran kepemimpinan bagi dirinya sendiri dan
bagi orang lain. Ini merupakan tantangan
bangsa Indonesia dan perguruan tinggi pendidik calon tenaga guru.
Tugas guru
memang berat, tetapi bukan berarti tidak dapat dilaksanakan. Memilih menjadi guru
berarti seseorang harus selalu mau untuk memperbaiki diri dan meng-updatepengetahuannya tanpa syarat. Jika
demikian, kesadaran akanpentingnya pendidikan sepanjang hayat bagi guru dan
calon guru menjadi kebutuhan yang amat mendesak dan sangat penting bagi bangsa
dimanapun, termasuk Indonesia. Spring (2008: 339) menyebutkan bahwa salah satu
diskursus yang berperan penting dalam
era globalisasi adalah pendidikan sepanjang hayat/lifelong learning (LLL), yang menurut Borg&Mayo, menjadi topik
diskusi yang mendunia sejak UNESCO mempublikasikan laporannya, yaitu tahun
1970an. Laporan tersebut menyebutkan bahwa pendidikan sepanjang hayat merupakan
bagian pertumbuhan budaya secara individu (Faure et al., via Joel, 2008: 339).
Komisi Masyarakat Eropa, mendefinisikan pendidikan sepanjang hayat sebagai
“semua kegiatan pembelajaran, yang dilakukan berdasarkan tujuan untuk
meningkatan pengetahuan, kemamuan dan kompetensi.” (Commision of the European
Communities melalui Joel, 2008: 339). Sayangnya, program pendidikan sepanjang
hayat ini gemanya tidak terlalu terdengar di Indonesia. Kebijakan tentang
pendidikan sepanjang hayat atau Lifelong
Learning (LLL) tidak terlalu jelas di Indonesia. Padahal pendidikan
sepanjang hayat dapat dijadikan ‘semangat’ untuk memberdayakan semua orang,
termasuk guru dan calon guru di Indonesia.
Sebagai salah
satu negara yang multikultural, Indonesia mempunyai potensi untuk maju, berkembang
dan mencapai cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, jika
kita tetap setia, terus mencoba menggali, memahami dan kemudian bertindak
sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Semboyan ‘Bhineka
Tunggal Ika’ (berbeda-beda tetapi tetap satu) yang dicengkeram oleh burung
Garuda tidak hanya menjadi hiasan dinding belaka, tetapi semangat itu harus
dapat dijiwai masyarakat Indonesia secara mendalam hingga mendarah daging,
menjadi arahan setiap individu dan bangsa Indonesia dalam bertindak. Prinsipnya
adalah meskipun bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang multikultural
namun karena komitmen bersama maka akan tetap terintegrasi dalam negara
kesatuan Republik Indonesia.
Internalisasi nilai-nilai
luhur bangsa yang tercermin dalam Pancasila dan semboyan bangsa ini, tidak
dapat dilakukan dengan menghapalkanmaupun taken-for-granted
(pokoknya begitu yang diajarkan dari nenek moyang dan harus diterima titik). Hal itu mengingat sejarah gelap dan panjang pemberlakukan
Pancasila sebagai asas tunggal demi melanggengkan status quo pada masa pemerintahan Orde Baru, sehingga menyebabkan citra
Pancasila tercoreng di mata masyarakat. Untuk itu, diperlukan pemimpin-pemimpin
yang berjiwa kepemimpinan untukmemulai
dan mendorong gerakan massa yang kritis (critical
mass)untuk mengambil peran kepemimpinan melalui diskusi-diskusi kritis, kajian-kajian, untuk
meredefinisi nilai-nilai Pancasila demi perubahan ke arah perbaikan. Jika masing-masing
individu sebagai warga negara dapat terlibat dalam massa kritis
sehinggajumlahnya mencapai 2/3 dari keseluruhan warga negara di Indonesia, maka
perubahan-perubahan, perbaikan-perbaikan dapat kita lakukan agar identitas dan
jati diri kita sebagai bangsa Indonesia tidak lagi melenceng dari nilai-nilai
Pancasila. Diibaratkan sebagai pohon
yang akar-akarnya telah mencengkeram dalam dan kuat ke dalam bumi maka kita
sebagai negara bangsa akandapat bertahan kokoh di tengah derasnya gelombang globalisasi.
Pendidik
(guru-dosen) merupakan salah satu aset nasional bangsa Indonesia yang posisinya
sangat strategis untuk menjawab tantangan perubahan jaman. Pendidikan
multikultural merupakan kebutuhan bangsa Indonesia sebagai salah satu negara
yang plural di dunia. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang
senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas
dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Pendidikan yang mampu
mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran,
dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar
kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat
Indonesia.Jelas disini bahwa peran guru-dosen dalam pendidikan multikultur di
Indonesia menjadi sangat krusial dan penting. Paparan berikut mencoba
merefleksi langkah-langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki praktek-praktek
pembelajaran di perguruan tinggi untuk mempersiapkan calon guru atau guru yang
berwawasan multikultural.
Pendidikan
multikultural di Indonesia tentu saja berbeda dengan pendidikan multikultural
di Amerika atau Kanada, pendidikan multikultural di Indonesia merupakan suatu
refleksi atas kesadaran diri atas realitas masyarakat yang majemuk dan
pendidikan multikultural semacam ini lebih mengarahkan pada pengembangan
kesadaran, kebersamaan dalam konteks perbedaan budaya di masyarakat (Zamroni,
2007:269-70). Untuk itu, perlu kiranya gagasan-gagasan tentang pendidikan
multikultural yang cocok dengan bangsa Indonesia. Tulisan ini tentu saja
merupakan salah satu upaya penulis untuk turut memberikan kontribusi
berkembangnya pendidikan multikultural di Indonesia, khususnya untuk pendidikan
guru atau calon guru di perguruan tinggi.
Rancangan
Pendidikan Guru Berwawasan Multikultural
Sekolah
(termasuk juga perguruan tinggi) merupakan institusi sosial yang strategis
sebagai pemersatu negara berbangsa yang pluralistik seperti Indonesia. Seperti
telah disebut di atas, bahwa diperlukan komitmen tinggi dan kepemimpinan dari
pemerintahdan juga penentu kebijakan di tingkat sekolah / perguruan tinggi
untuk mengambil kebijakan-kebijakan dan bila perlu mengevaluasi
kebijakan-kebijakan sehingga kebijakan tersebut bertumpu pada konsep multikultural.
Kebijakan pendidikan multikultural harus ‘disuarakan’ dan ‘dipopulerkan’ melalui
berbagai macam kanal (media massa, berbagai macam kajian, penelitian, diskusi,
sarasehan, rembuk secara nasional) agar masyarakat mengerti, peduli dan sadar
pentingnya pendidikan multikultural. Tentu saja penelitian-penelitian,
kajian-kajian kritis itu dapat ‘dibumikan’ dan disampaikan dengan bahasa rakyat
agar mudah dimengerti dan dipahami.
Banyaknya
perkelahian antar kelompok dan begitu mudahnya mahasiswa terseret pada
perkelahian dan tawuran (seperti sering kita saksikan di Makasar) merupakan
bukti bahwa pendidikan multikultural perlu dijadikan ‘santapan’ bagi masyarakat
pada umumnya menggantikan sajian ‘isu-isu’ selebritis, sinetron-sinetronyang
penuh dengan kekerasan di ruang publik masyarakat (televisi) Indonesia. Henry A. Giroux dalam Doing Cultural Studies: Youth and the
Challenge of Pedagogy mengingatkan kita bahwa budaya popular di era
keterbukaan informasi dan teknologi, secara politis dan pedagogis, merupakan
wilayah kajian yang penting dalam pendidikan (Giroux, 1994 : 281).
Asumsi-asumsi
yang mendasari tulisan ini didasarkan pada teori kritis tentang pendidikanyang
muaranya pada pemberdayaan (empowerment)
sebagai jalan menuju tujuan pendidikan (secara umum maupun pendidikan
multikultural pada khususnya), yang berdasarkan nilai-nilai dalam Pancasila.
Sastrapratedja (2001: 13-14) menyebutkan bahwa Pancasila merupakan suatu
rumusan nilai-nilai dasar kemanusiaan. Oleh karena itu seringkali dikatakan
bahwa Pancasila bersifat humanistik dan universalistik. Humanistik, karena
memuat nilai-nilai kemanusiaan yang bertumpu pada nilai hormat terhadap
martabat manusia; universalistik, karena nilai-nilai itu bersifat mendasar
sehingga dapat berlaku bagi setiap orang. Nilai-nilai tersebut adalah (1)
hormat terhadap keyakinan religius setiap orang; (2) hormat terhadap martabat
manusia sebagai pribadi/persona, yaitu sebagai subjek yang tak pernah boleh
direduksi menjadi objek; (3) kesatuan sebagai bangsa yang mengatasi
segmentasi-segmentasi sempit; (4) demokrasi atas dasar kedaulatan di tangan
rakyat; (5) keadilan sosial yang mencakup kesamaan derajat setiap orang (equality) dan pemerataan (equity).Notonagoro melihat Pancasila
sebagai kesatuan organis (majemuk tunggal) nilai, yang terdiri atas nilai
ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kelima nilai
tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain,
bahkan saling mengkualifikasi satu nilai dengan yang lain. Artinya, manakala
berbicara tentang persatuan Indonesia, misalnya, maka konsep ini tidak dapat
dilepaskan dari konsep ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan dan keadilan. Setiap
berbicara tentang satu sila, maka akan selalu terkait dengan keempat sila
lainnya (Kuswanjono, 2006: 86). Jadi, dalam pembahasan tulisan ini tidak akan
dipisah-pisahkan antara sila yang satu dengan sila yang lain tetapi kesemuanya
itu menjadi landasan berpikir dan pijakan dalam mengungkapkan argumentasi.
Selain itu, Sastrapratedja (2001: 11-12)
juga mengungkapkan bahwa arah pendidikan yang memberdayakan diartikan
sebagai: (1) daya untuk berbuat (power-to);
(2) kekuatan bersama (power-with);
dan (3) kekuatan dari dalam (power-within).
Pendidikan yang memberdayakan adalah pendidikan yang dapat memberikan kekuatan
pada peserta didik untuk kreatif sehingga mampu membuat seseorang berbuat
sesuatu, memutuskan sesuau dan memecahkan masalah. Pendidikan juga merupakan
usaha untuk membantu membangun kekuatan bersama, yaitu agar peserta didik
membangun solidaritas atas dasar komitmen
pada tujuan dan pengertian yang sama untuk memecahkan permaslahan yang
dihadapi guna menciptakan kesejahteraan bersama. Pendidikan bertujuan untuk
membangun kekuatan spiritual yang ada dalam diri peserta didik sehingga dapat
membuat manusia lebih manusiawi karena di situ dibangun harga diri manusia dan
penghargaan terhadap martabat manusia dan nilai-nilai yang mengalir dari
martabat itu. Pemberdayaan ini memungkinkan (1) kemampuan untuk menghadapi
perubahan nilai dan pluralism, (2) kemampuan untuk memilih berbagai macam
alternatif, (3) kemampuan peserta didik untuk beradaptasi dengan perubahan yang
demikian cepat.
Perguruan tinggi pendidik calon guru dan guru merupakan lembaga yang
diharapkan dapat menjadikan semua civitas akademika untuk selalu dapat berpikir
kritis, menjadi mediator budaya, mampu memberikan bantuan atau advokasi
terhadap siswa, serta menjadi agen perubahan yang mempunyai komitmen untuk
mencapai pendidikan multikultur yang merata, adil, berkualitas.
Karena kontribusinya terhadap institusi sosial, maka pendidik beserta institusinya/sekolah atau perguruan
tinggi perlu memperjelas nilai-nilai, asumsi-asumsi serta landasan pedagogi yang
diberikan kepada muridnya atau mahasiswa
yang dituangkan melalui visi dan misi perguruan tinggi dan disosialisasikan
secara intensif kepada seluruh civitas akademika. Visi dan misi suatu lembaga
perlu dikomunikasikan untuk dijadikan pijakan setiap kebijakan dan individu
yang berada di lembaga tersebut. Untuk itu, visi dan misi harus dapat
dioperasionalkan secara jelas dan
dijadikan ‘ruh’ bagi setiap kegiatan pendidikan di dalam kelas ataupun di luar
kelas dan tidak hanya menjadi pajangan di pintu masuk / gerbang perguruan
tinggi.
Ada beberapa langkah yang dapat digunakan untuk menghasilkan lulusan calon
guru yang berwawasan multikultur di Indonesia. Semboyan ‘bhineka’ dan ‘tunggal
ika’ perlu secara teoritis dan praktis di bawa ke ruang-ruang kelas. Dosen
harus dapat menjadi seorang pemikir kritis sehingga dapat mengembangkan diri
(kognifif maupun afeksinya). Dengan selalu berpikir kritis, seorang guru sekaligus
akan menjadi seorang yang terus belajar sepanjang hayatnya sehingga dapat
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi dan selalu dapat mengevaluasi diri (sikap,
tindakan) dan mengevaluasi nilai-nilai atau asumsi-asumsinya yang mungkin saja bias.
Guru atau dosen yang
demikian juga akan dapat melihat kebutuhan-kebutuhan peserta didiknya sehingga
dapat mempersiapkan materi-materi yang menantang dan memungkinkan terjadinya
dialog-dialog, diskusi-diskusi di ruang kelas secara terbuka dan tulus sehingga
masing-masing individu di dalam kelas tersebut merasa nyaman dengan
perbedaan-perbedaan yang dimiliki, tanpa
adanya tekanan dan prejudice tertentu.
Pendidikan harus
dapat menjadi ruang pembebasan sebagaimana diungkapkan oleh Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed. Pendidikan
didasarkan pada keyakinan bahwa manusia mempunyai kapasitas (secara fitrah)
untuk mengubah nasibnya. Untuk itu tugas utama pendidikan adalah untuk
mengantarkan peserta didik menjadi subjek dalam mencapai tujuannya
masing-masing. Asumsi-asumsi yang mendasari adalah (1) perlunya ditumbuhkan
keadaran kritis peserta didik terhadap struktur sosial yang selama ini telah
membelenggu dan menindas, (2) kesadaran manusia selalu berproses dipengaruhi
oleh lingkungan. Pendidikan yang demikian haruslah dicapai dengan proses
pembelajaran yang memposisikan guru dan siswa sama-sama sebagai subjek yang
harus terlibat dalam mengkritisi dan juga memproduksi pengetahuan, (3)
pendidikan demikian dipahami sebagai pendidikan yang membebaskan dari sistem
hegemoni dan dominasi kultural yang mempertahankan dan mereproduksi status quo, (4) pendidikan tidak hanya
dibatasi pada ruang kelas, tetapi harus kontekstual terkait dengan dunia
disekitarnya (Freire, 2008). Dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang seperti
itu adalah pendidikan yang dapat memberdayakan semua orang untuk selalu dan
terus aktif dalam membangun pengetahuan. Hal itu dimaksudkan agar, setelah
menyelesaikan pendidikannya,
masing-masing calon guru akan juga selalu belajar secara kritis dan
mampu menciptakan lingkungan pembelajaran yang juga memperdayakan
murid-muridnya. Jika lifelong learning telah
terinternalisasi dalam masing-masing guru,
maka upaya untuk memobilisasi murid-murid agar berdaya bukanlah sesuatu
yang mustahil untuk dilakukan oleh guru.
Selain itu, guru
(di dalam kelas maupun di luar kelas) harus dapat bertindak sebagai mediator
bagi keberagaman masyarakat. Sebagai mediator, maka guru mempunyai peran yang
efektif untuk menjembatani terjadinya dialog-dialog keberagaman budaya dalam
masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Keterlibatan guru dalam
kegiatan-kegiatan di masyarakatnya akan mampu memberikan pengaruh positif
terhadap pendidikan multikultural. Dengan memahami masyarakatnya, seorang guru
akan dapat mengintegrasikan berbagai materi yang harus disampaikan kepada
muridnya yang disesuaikan dengan konteksnya, dengan berbagai metode dan
strategi yang memang cocok dengan kondisi masyarakat. Pemahaman guru terhadap
perbedaan yang mungkin saja terjadi antara nilai-nilai sekolah dengan
nilai-nilai yang dibawa oleh peserta didik bagaimanapun sangat penting bagi
guru. Sehingga guru kemudian dapat menjelaskan perilaku-perilaku atau
sikap-sikap yang diharapkan oleh institusi dan guru yang belum dicapai oleh
siswanya.
Guru juga harus
dapat berperan sebagai advokat bagi siswa-siswanya. Untuk itu, perlu kiranya
guru mengenal secara personal para siswanya agar guru dapat memahami latar
belakang dan nilai-nilai yang telah dipelajari siswa dalam keluarga dan
masyarakatnya dan dapat memberikan bantuan serta saran-saran agar siswa dapat
mengoptimalkan kemampuannya dengan modal yang dimilikinya. Guru yang demikian
akan lebih demokratis dalam memperlakukan siswanya, memberikan kesempatan
kepada siswanya untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya secara jujur. Berbagai
permasalahan dapat diselesaikan dalam diskusi secara seimbang.
Sebagai agen
perubahan, guru diharapkan selalu bekerja keras untuk memberdayakan dirinya
sendiri dan orang lain dalam kondisi yang bagaimanapun. Guru diharapkan dapat
terlibat dalam proses-proses perubahan menuju perbaikan yang dicita-citakan
bersama. Sebagai agen perubahan, maka seorang guru tidak akan mudah puas dengan
apa yang telah dicapainya. Ia akan terus aktif dan kreatif untuk mencari segala
kemungkinan demi kemajuan bersama. Peran
guru sebagai agen perubahan ini merupakan peran yang sangat penting karena
perubahan cepat di berbagai bidang membutuhkan peran aktif dalam memperkokoh
sistem pendidikan kita dan mencari berbagai alernatif yang memungkinkan untuk
perbaikan diri, orang lain dan bangsa.
Dalam
pembelajaran di dalam kelas, guru bagaimanapun akan selalu menjadi model bagi
murid-muridnya. Untuk itu, kesuksesan
implementasi pendidikan multikultural juga sangat tergantung pada bagaimana
guru bersikap, bertindak, dan berperilaku di dalam kelas dan di luar kelas.
Modeling bagaimanapun merupakan strategi yang baik dalam pendidikan
multikultural. Seorang guru yang multikultural akan tercermin dari setiap
ucapan, sikap dan perilakunya yang dapat ditangkap dan dijadikan contoh bagi
setiap muridnya. Seorang guru yang multikultural akan mengetahui nama
murid-muridnya dan memperlakukan siwanya dengan positif. Setiap siswa dianggap
mampu untuk tumbuh dan berkembang mencapai fitrahnya masing-masing. Modeling merupakan
strategi yang efektif dalam pembelajaran. Bagaimana seorang guru/dosen memahami
budaya kelas dan menciptakan suasana yang aman, tenang, kondusif, nyaman,
saling menghormati martabat manusia, demokratis, adil merupakan bagian penting
dari contoh tersebut.
Menciptakan rasa
kebersamaan di dalam kelas juga dapat menumbuhkan rasa saling menghormati di
antara siswa. Melalui berbagai kegiatan diskusi dengan duduk melingkar (face-to-face), siswa dapat saling
bercerita dan mendengarkan tentang nilai-nilai yang dibawanya dari rumah,
harapan-harapannya agar tumbuh rasa saling memahami dan menghargai serta
mengurangi rasa saling curiga (prejudice).
Melalui diskusi-diskusi seperti ini diharapkan seorang calon guru / guru dapat
mengevaluasi asumsi-asumsinya, pandangan-pandangannya yang mungkin saja bias.
Menurut Paulo Freire (2008), inti pembelajaran terletak pada ‘problem-posing
education,’ karena melalu problem solving
(pemecahan masalah) para siswa diajak untuk mengevaluasi dan otomatis juga
mengevaluasi nilai-nilai pribadi dan nilai-nilai budaya yang telah diajarinya
untuk kemudian memikirkan suatu tindakan yang dilakukan dengan mereview juga
nilai-nilai orang lain untuk mencari suatu pemecahan. Selain itu, dengan
diskusi, seorang siswa akan terbiasa mengungkapkan pikirannya, pendapatnya dan
membiasakan siswa untuk turut aktif memberikan kontribusi terciptanya suasanya
demokratis yang saling menghargai pendapat orang lain, menghargai perbedaan.
Dalam memperoleh
pengetahuan, siswa / mahasiswa harus dibiasakan
untuk memperoleh pengetahuan secara
aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan saja layaknya sistem bank. Materi-materi yang kontekstual dan berdasarkan
projek biasanya dapat membantu siswa dalam menggali pengetahuan secara
mendalam. Seorang guru yang aktif mencari pengetahuan tidak akan menerima
begitu saja status quo yang
melenakan, tetapi ia akan mencari alternatif-alternatif lain atau mencoba
mencari jalan lain, bereksperimen untuk memecahkan berbagai tantangan yang
dihadapinya, seberapa beratpun tantangan itu.
Penutup
Guru adalah seseorang yang memiliki suatu pengetahuan yang dapat membuatnya memiliki kearifan
sehingga dapat mengarahkan (menjadi
mentor) dan memimpin bagi dirinya sendiri dan juga orang lain dalam menuju pada kebaikan. Peran guru
sangatlah penting di dalam proses pembelajaran (di dalam atau di luar
kelas). Asumsi-asumsi yang mendasari tentang
bagaimana pendidikan guru yang berwawasan multikultural di Indonesia didasarkan pada teori kritis tentang
pendidikan yang muaranya pada pemberdayaan (empowerment)
sebagai jalan menuju tujuan pendidikan (secara umum maupun pendidikan
multikultural pada khususnya), yang berdasarkan nilai-nilai dalam Pancasila.
Pemberdayaan ini memungkinkan guru untuk memiliki (1) kemampuan untuk
menghadapi perubahan nilai dan pluralism, (2) kemampuan untuk memilih berbagai
macam alternatif, (3) kemampuan peserta didik untuk beradaptasi dengan
perubahan yang demikian cepat. Sedangkan pendidikan yang didasarkan atas
nilai-nilai Pancasila paling sedikit memiliki lima ciri, yaitu (1) hormat
terhadap martabat manusia, (2) manusiawi, (3) demokratis, (4) adil dan (5) berwawasan kebangsaan. Ciri-ciri ini
tentu saja harus dimiliki oleh setiap guru.
Referensi
Freire,
Paulo. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas.
Terjemahan dari Judul Asli: Pedagogy
of the Oppressed by Paulo Freire, 1972. Jakarta: LP3ES.
Giroux, Henry A. (1994). Doing Cultural
Studies: Youth and the Chalenge of Pedagogy.
Harvard Educational Review, 64,
281
Harper,
Douglas. (2001). Online Etimology
Dictionaire. http://www.etymonline.com/.
Kuswanjono,
Arqom. (2006). Pluralisme Pancasila. Jurnal
Filsafat « Wisdom » , 16, 1, 77-93.
Sastrapratedja,
M. S.J. (2001). Pendidikan sebagai Humanisasi. Yogyakarta:
Penerbitan Universitas Sanata Dharma.
Spring,
Joel. (2008). Research on Globalization and Education. Review of Educational Research. 78, 2.
Zamroni.
(2007). Pendidikan
dan Demokrasi dalam Trasisi: Prakondisi menuju era Globalisasi. Jakarta :
PSAP Muhammadiah.
0 comments:
Post a Comment