Translate

Powered By Blogger

Wednesday, May 27, 2020

Belajar dari Maryam (1)



Refleksi kedua di ujung Ramadan tahun 2020 dan baru terselesaikan di awal bulan Syawal

Semua bermula dengan kegelisahan terhadap pencarian diri yang entah ujungnya  dimana… Allahu a’lam.  Menjadi perempuan Islam dan bagaimana posisinya dalam Al-Quran… 

Hati dan pikiran langsung tertuju pada satu-satunya nama perempuan yang dijadikan nama surat  dalam Al-Quran  “Maryam,”  surat ke-19 dari 114.  Siapa Maryam? Tentu kita semua sudah mengenalnya. Dialah perempuan keturunan Imran, Maryam binti Imran, ibunya bernama Hannah atau Hanna,  terpilih dari sekian perempuan Bani Israil untuk mengandung  bayi Almasih Isa a.s  tanpa suami! Bagaimana mungkin? Bagi Allah SWT, kami percaya, tidak ada yang tidak mungkin. Ini juga ujian ketaatan bagi manusia. Jika Allah berkehendak dan mengatakan "Kun fayakun! Maka jadilah ia..." Tapi jelas bahwa itu hanya untuk Maryam putrinya Imran bukan Maryam yang lain.

Bergetar hati membayangkan perempuan yang begitu kuat, kokoh, dan tangguh sekaligus  penuh dengan kelembutan, kepasrahan, kesantunan, kesalihan, dan ketaatan kepada Tuhannya. Dikotomi yang luar biasa. Maryam digambarkan sebagai seorang perempuan yang begitu suci dan shalihah serta mulia dan tiba-tiba harus mengandung tanpa bersentuhan dengan laki-laki manapun. "Dan ingatlah ketika para malaikat berkata,“Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam.” (Ali Imran: 42).  

Maryam lahir sebagai yatim. Ayahnya bernama Imran dan telah meninggal sejak ia di dalam kandungan. Keluarga Imran adalah salah satu keluarga yang dimuliakan Allah SWT seperti juga Keluarga Ibrahim a.s. Maryam dinazarkan oleh Ibunya, Hannah, untuk menjadi seorang yang sholehah  untuk mengabdi di Baitul Maqdis (berdasarkan penelusuran beberapa sumber Baitul Maqdis adalah Jerusalem atau daerah di sebelah timur Jerusalem). Karena kehendak Allah SWT, sejak usia 3 tahun diasuh dan dididik oleh Nabi Zakaria a.s dan  diserahkan untuk menjadi pelayan suci di Baitul Maqdis (sesuai nazar Hannah, ibunya). Padahal waktu itu ada larangan seorang perempuan memasuki tempat itu. Sungguh berat ujian yang harus dilaluinya. 

Pada masa itu, Tuhan telah mewahyukan kitab-kitab sebelum Al-Quran, yaitu Zabur kepada Nabi Daud a.s dan Taurat kepada Nabi Musa a.s.  Jangankan setelah para nabi itu wafat, Bani Israil memang mudah sekali tergoda untuk menyelewengkan ajaran ketauhidan serta keesaan Allah SWT untuk kepentingan manusia-manusia pemuja dunia. Nah, Allah SWT memberikan karunia kepada Bani Israil dengan turunnya Nabi Isa a.s, ingat ya... khusus kepada Bani Israil bukan untuk seluruh umat manusia, karena setelah Nabi Isa a.s akan ada penerusnya yang lemah lembut serta budi pekertinya yang sangat baik dan kenabiannya juga diakui oleh Isa a.s, yaitu Nabi Muhammad SAW, sebagai nabi seluruh umat, sebagai nabi terakhir. Kelak nabi Isa a.s akan membenarkan ajaran nabi Muhammad SAW ketika diturunkan kembali.

Sungguh berat ujian yang harus dijalani Maryam. Penderitaan batinnya sungguh luar biasa. Penderitaan itulah ujian ketaatan kepada Tuhannya. Maryam yang tidak sempat mengenal wajah ayahnya, Imran, pun harus pula berpisah dengan ibunya, Hanna, sejak kecil untuk mendapat pendidikan. Pasti ada perasaan, "Benarkan Ibu dan Ayahku mencintaiku atau menyayangiku? Betapa merindu tak terkira melihat dan bertemu mereka. Ataukah jangan-jangan mereka memang tidak pernah mencintaiku? Itu sebabnya aku 'dibuang' disini?"  Dia  harus kuat menanggung ujian dan kepedihan-kepedihannya, sendiri! Siapa yang harus ditaklukannya? Ya, dirinya sendiri. Kesanggupan untuk menjadi sholehah harus dibayar dengan penderitaan yang luar biasa. Tapi saya yakin dia sangat bahagia karena Allah SWT tidak pernah meninggalkan dan melupakannya. 

“Wahai Maryam! Sesunguhnya Allah menyampaikan  firman-Nya yaitu seorang putra bernama Almasih Isa Putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” (QS.Ali Imran: 45). 

"Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari roh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan kitab-kitab-Nya; dan dia termasuk orang-orang yang taat." (At-Tahrim:12).

Dan (ingatlah kisah Maryam) yang memelihara kehormatannya, lalu Kami tiupkan (roh) dari Kami ke dalam tubuhnya; Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda kebesaran Allah bagi seluruh alam.  (Al-Anbiya, 91).

Dari kutipan surat-surat di atas, sudah sangat jelas bahwa roh yang ditiupkan Allah SWT melalui malaikat Jibril adalah ciptaannya. Roh itu bukan jelmaan Tuhan, tetapi ciptaannya. Allah SWT lah pencipta semua roh yang ada di bumi dan seluruh semesta alam. Hanya Dia satu-satunya yang patut kita sembah. Bukan roh ciptaannya!

Maryam harus mengasingkan dirinya karena tak sanggup memberikan penderitaan dan kesedihan bagi keluarganya. Dia berusaha untuk menunjukkan ketegarannya karena tak sanggup melihat kesedihan apalagi kehinaan keluarganya.   Dia menjalani hari-hari sunyi bersama bayi dalam kandungannya, berjalan dan terus berjalan, sendiri. Berjuang dan terus berjuang. Dan ketika waktu melahirkan akan tiba, Maryam berteduh di bawah batang pohon kurma, bersandar dan menahan kesakitan luar biasa, hendak melahirkan bayi yang namanya pun sudah dipilihkan oleh Allah SWT. Maryam hampir saja berputus asa waktu itu, tak sanggup menahan sakitnya, ”Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” (QS.Maryam: 23). 

Allah memang Maha segala sumber kekuatan dan maha Mengasihi. Kelahiran Almasih Isa a.s membawa suatu berkah bagi orang tuanya, bagi Maryam dan bagi keluarga Bani Israil.  Malaikat Jibril dikirim Allah SWT untuk memberitahu bahwa ada buah kurma di atasnya dan minuman di bawahnya untuk bekalnya menyusui bayinya. Perjuangan Maryam belum selesai, dia harus kembali berjalan pulang kepada kaumnya, Bani Israil. Membayangkan berbagai macam pertanyaan dari masyarakat saja sudah ngeri rasanya. "Maryam kembali bersama bayinya?," "Bukankah ayah dan ibunya seorang yang shaleh? "Bagaimana mungkin Maryam menjadi pezina?"  

Siapa yang pernah  melahirkan bayi, tentu tahu betapa luar biasa sakitnya.  Beruntunglah saat ini ada dokter atau bidan yang membantu proses melahirkan. Subhanallah.... Maryam binti Imran, melahirkan sendiri! Tanpa kawan! Pun untuk sekedar mendengarkan jeritan kesakitan! Sendiri. Bisa dibayangkan betapa berat penderitaannya waktu itu. Tapi dia adalah Maryam binti Imran, perempuan yang spesial.  

Seperti halnya Maryam, mungkin saya adalah salah satu diantara sekian perempuan di dunia yang juga hampir menyerah, berhenti dan meninggalkan 'pertempuran' proses melahirkan. Diperlukan kekuatan dan ketangguhan diri untuk mengatakan, "Ya saya bisa dan lillahi ta'ala."  Berpeluh menahan sakit segala sakit! Waktu itu segala nasehat dan kata-kata hiburan tak ada artinya! Meski dari orang terdekat sekalipun. Sungguh suatu perjuangan antara hidup dan mati. Hanya berbekal keyakinan bahwa segala daya, upaya, serta kekuatan adalah milik Allah SWT. La haula wa quwwata illa billah. 

Mengandung, melahirkan, membesarkan, dan mendidik  anak adalah perjalan panjang yang harus kita jalani sepanjang hayat dan terus menerus. Bagaimana tidak sepanjang hayat... setelah anak kita lahir apakah tugas kita selesai sampai disini? Tidak, kita harus terus melindunginya secara fisik maupun psikis, ketika anak mulai bisa berbicara dan melakukan banyak hal apakah kemudian tugas kita selesai? Tidak... bahkan sampai anak itu kelak memiliki kehidupannya sendiri... kita harus terus menerus melindunginya dengan doa terbaik yang kita bisa.  Mungkin memang benar bahwa manusia adalah mahluk yang selalu bergantung seumur hidupnya... Bukankan itu yang diajarkan Tuhan untuk makhluknya? Kita memang selayaknya bergantung pada zat yang layak menjadi gantungan kita. Pencipta segala makhluk dan alam semesta. Semoga Allah ridho terhadap segala peran yang kita miliki sehingga anak-anak yang lahir dari rahim kita semua dapat menjadi anak yang sholeh dan sholehah. Amiin  ya Mujib. 



                                                                                                            Lanjutan... refleksi ketiga..
                                                                                          


0 comments:

Post a Comment