Paulo
Freire merupakan tokoh pendidikan Amerika Latin yang melihat permasalahan
pendidikan sebagai masalah struktural (sosio-ekonomis, politik dan kebudayaan).
Dalam “Pendidikan untuk Kaum Tertindas” Freire menegaskan keberpihakannya
terhadap pendidikan untuk kaum-kaum yang tertindas (the oppressed). Ketertidasan itu bisa dari rezim otoriter,
struktural-sosial yang deskriminatif, karena suku, ras, jender, agama, warna
kulit, dan lain sebagainya. Permasalahan pokoknya adalah humanisasi.
Humanisasi merupakan sesuatu yang
harus diperjuangkan, karena sejarah menunjukkan bahwa humanisasi maupun
dehumanisasi merupakan alternatif yang nyata. Untuk pembebasan demi humanisasi
itu, maka perjuangan bagi pembebasan yang dilaksanakan oleh kaum tertindas
harus merupakan perjuangan untuk membebaskan penindas juga agar tidak terjadi
balas dendam. Ada beberapa ciri-ciri kaum tertindas yaitu (1) mereka mengalami
keterasingan diri/alienasi dari lingkungannya dan tidak menjadi subjek yang otonom,
(2) mengalami depresi sehingga merasa bodoh dan tidak mengetahui apapun,
padahal tidak demikian.
Dengan demikian, tugas utama pendidikan adalah untuk
mengantarkan peserta didik menjadi subjek melalui (1) kesadaran kritis peserta
didik dan (2) mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan penindasan itu
berlangsung. Untuk itu emansipasi atau pemberdayaan harus melibatkan kesadaran
akan kedua hal tersebut. Proses pembelajaran yang demikian mengandaikan relasi
guru-siswa sebagai subjek-subjek bukan subjek-objek. Guru bukan lagi hanya
sebagai tenaga pengajar atau fasilitator saja tetapi juga harus terlibat
(bersama-sama peserta didik) dalam mengkritisi dan memproduksi suatu ilmu
pengetahuan. Guru juga harus berperan sebagai pekerja kultural yang sadar bahwa
pendidikan dapat dipandang sebagai kekuatan kultural untuk pembebasan dan
sekaligus untuk kekuatan hegemoni atau kekuasaan, serta sebagai meria untuk
mereproduksi sistem sosial status quo.
Untuk itu, belajar menurut Freire merupakan proses yang tidak boleh dibatasi
pada pembelajaran di kelas saja, tetapi harus lebih dari itu. Pembelajaran
tidak berdasarkan teksbook saja tetapi juga harus kontekstual dan terkait
dengan dunia nyata. Secara singkat, sistem pendidikan menurut Freire adalah 1)
perlunya ditumbuhkan keadaran kritis peserta didik terhadap struktur sosial
yang selama ini telah membelenggu dan menindas, (2) kesadaran manusia selalu
berproses dipengaruhi oleh lingkungan. Pendidikan yang demikian haruslah
dicapai dengan proses pembelajaran yang memposisikan guru dan siswa sama-sama
sebagai subjek yang harus terlibat dalam mengkritisi dan juga memproduksi
pengetahuan, (3) pendidikan demikian dipahami sebagai pendidikan yang
membebaskan dari sistem hegemoni dan dominasi kultural yang mempertahankan dan
mereproduksi status quo, (4) pendidikan tidak hanya dibatasi pada ruang kelas,
tetapi harus kontekstual terkait dengan dunia disekitarnya.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Undang-Undang Dasar 1945 sebetulnya telah menjamin bahwa tujuan pendidikan di
Indonesia adalah untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Dalam konteks ini,
pendidikan memiliki dimensi sosial kebangsaan karena yang menjadi tujuan
pendidikan bukan kecerdasan individu tetapi bangsa. Konteks pendidikan dalam
konstitusi tersebut juga dapat dikatakan sebagai konsep untuk memerdekakan
manusia Indonesia dari berbagai macam kungkungan dan penindasan. Telahkan
bangsa ini menjamin kecerdasan bangsanya melalui pendidikan? Sepertinya belum.
Jawaban itu didasarkan pada alasan sebagai berikut (1) kebijakan tentang
pendidikan di Indonesia belum memihak pada golongan yang lemah, minoritas.
Padahal pendidikan yang adil bukanlah pendidikan yang netral, tetapi pendidikan
itu harus memihak pada kaum lemah. Ini artinya sebetulnya bangsa ini telah berkhianat
pada nilai “keadilan” dalam Pancasila. Selain itu, (2) contoh atau modeling
yang dipertontonkan oleh para pemimpin kita sangat jauh dari kata ‘mendidik’.
Maraknya korupsi dan kejahatan publik di Indonesia yang diekspos secara
besar-besaran melalui berbagai macam media, benar-benar mendekati sempurna.
Masyarakat yang tidak terbiasa dengan pemikiran kritis dalam melihat
pemberitaan, akan menganggapnya suatu kebenaran yang patut ditiru. Jadi,
pendidikan bagaimanapun juga akan dapat menyelamatkan bangsa ini, jika kita
kembali pada nilai-nilai dasar yang tercermin dari Pancasila.
Referensi
Buku bisa didownload melalui :
Freire, Paulo (2005). Pedagogy of the Oppressed. The Continuum International Publishing Group Inc. Diterjemahkan oleh Myra Bergman Ramos file:///C:/Users/TRI02/Downloads/FreirePedagogyoftheOppressed.pdf
Noel,
Jana. (2000). Notable Selections in
Multicultural Education. USA: McGraw-Hill.
Freire,
Paulo. (2008). Freire, Paulo. (2008). Pendidikan
Kaum Tertindas. Terjemahan dari Judul Asli: Pedagogy of the Oppressed by Paulo Freire, 1972. Jakarta: LP3ES.